Kriteria (ukuran) kebenaran memiliki beberapa aliran (teori) dalam ilmu filsafat, yaitu: teori korespondensi, teori koheren, dan teori pragmatisme. Selain dalam ilmu filsafat, criteria kebenaran juga ditunjukkan dalam agama (agama sebagai teori kebenaran).
Inti dari teori korespondensi tentang kebenaran adalah yang berkesesuaian dengan fakta, yang berselaras dengan realitas, yang serasi (correspondens) dengan situasi actual. Dengan demikian, kebenaran dapat didefinisikan sebagai kesetiaan pada kesetiaan realitas obyektif (nyata, bias diraba, dan bisa dilihat/dirasakan dengan panca indera tidak hanya satu orang). Jadi kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan tentang sesuatu dengan kenyataan itu sendiri. Contoh: “Jakarta adalah ibukota Republik Indonesia”. Pernyataan itu benar karena Jakarta memang ibukota RI. Kebenarannya terletak pada hubungan antara pernyataan dan kenyataan.
Inti dari teori koheren tentang kebenaran adalah kebenaran yang didukung. Maksudnya adalah suatu pernyataan yang didukung dan diakui oleh orang banyak. Dan pernyataan yang dinyatakan ini tahan uji dengan teori-teori baru (pernyataan kebenaran) sesudahnya.
Selanjutnya adalah inti dari teori pragmatisme yang beranggapan bahwa sesuatu yang benar adalah sesuatu yang berdampak positif bagi manusia. Adapun batu ujian kebenaran dari teori pragmatisme ini adalah kegunaan, dapat dikerjakan, akibat atau pengaruhnya yang memuaskan. Menurut teori ini tidak ada pkebenaran mutlak/absolut. Sebagai contoh, Tuhan dalam agama menurut penganut teori pragmatisme, kebenarannya bukan terletak pada keberadaan Tuhan yang disembah dalam agama, melainkan dampak/efek dari Tuhan dalam agama yang positif bagi kehidupan manusia, sebab dengan adanya agama kehidupan manusia akan berlangsung secara tertib dan jiwanya akan tenang.
Dan untuk teori yang menyatakan bahwa agama sebagai teori kebenaran beranggapan bahwa selama sesuatu itu sesuai dengan ajaran agama atau wahyu, maka sesuatu dinyatakan benar. Dan tolak ukur kebenaran menurut teori ini adalah kitab suci agama (wahyu).
Jadi dapat kita simpulkan bahwa kebenaran menurut teori korespondensi, teori koheren, dan teori pragmatisme adalah semua kebenaran itu berasal dari satu pernyataan yang ada dan diakui/dipercayai oleh orang banyak.
Dalam teori korespondensi muncul pertanyaan siapa yang membuat obyek? Obyektif tidak lain dan tidak bukan ada/muncul dari subyektifitas (sudah barang tentu dalam hal ini [teori korespondensi] berarti nyata, bias diraba, dan bisa dilihat/dirasakan dengan panca indera tidak hanya satu orang) yang diakui/diyakini oleh orang banyak, seperti jakarta adalah ibukota RI, maka di situ ada orang yang membuat/menyatakan bahwa ada suatu daerah yang bernama jakarta dan itu merupakan ibukota suatu organisasi yang memiliki wilayah dan bangsa bernama RI, berangkat dari situlah maka orang yang membuat pernyataan tersebut menanamkan doktrin/pendapatnya pada orang lain dan pada akhirnya dia dan pernyataannya diakui dan diyakini oleh orang banyak.
Kemudian dalam teori koheren yang menyatakan bahwa kebenaran adalah dari suatu pernyataan yang didukung dan diakui oleh orang banyak, sehingga muncullah asumsi bahwa dia yang mampu membuat sebuah pernyataan (baik rasional maupun yang irrasional), dan mampu menanamkan/menjadikan pernyataannya (doktrin) diakui dan diyakini orang banyak maka dialah si benar, dan selain dia adalah salah. Jadi nilai kebenaran sebenarnya milik setiap manusia yang normal dan berpikir dan memiliki kriteria yang disebutkan di atas. Sebagai contoh, Paus Urbanus II menyatakan bahwa bagi mereka yang bersedia berperang melawan kaum Muslimin di Yerusalem (perang salib) akan diampuni dosa-dosanya, dan mati dalam perang salib adalah mati suci dan akan masuk surga, sehingga bagi mereka yang berperang dalam perang salib akan beranggapan bahwa pernyataan paus itu adalah benar.
Selanjutnya teori pragmatisme yang menyatakan bahwa sesuatu yang berdampak positif bagi manusia adalh benar, sehingga muncul problem bahwa setiap manusia memiliki karakteristik yang bermacam-macam, yang mana yang baik menurut si A belum tentu baik menurut si B. Dan jika demikian yang terjadi maka kebenaran itu hanya berlaku bagi manusia tertentu saja yang memiliki ketentuan-ketuntuan yang bagi mereka berdampak positif. Sebagai contoh, menjulurkan lidah bagi suku maoi di selandia baru adalah berdampak positif, karena ini berarti suatu sapaan antar individu, sedangkan bagi orang indonesia pada umumnya hal ini berdampak negatif, karena menjulurkan lidah bagi orang indonesia pada umumnya dalah penghinaan.
Dan dalam teori agama sebagai teori kebenaran, maka semua agama pada akhirnya akan dinyantakan benar asal sesuai dengan ajaran agama tersebut. Dan sangat dimungkinkan muncul asumsi bahwa agama tidak lain adalah penghibur manusia karena akalnya tidak mampu menjangkau (menjawab) pertanyaan yang dibuat dirinya sendiri, seperti apa kehidupan setelah kematian? Adakah balasan bagi pendosa? Dan sekarang yang sedang tren adalah mengungkap kebenaran/pernyataan agama (dalam hal ini adalah Islam) dengan fakta-fakta ilmu pengetahuan, yang mana sebenarnya manusia itu sendiri ingin membuktikan pernyataan-pernyataan dalam agama tentang kebenarannya. Selain itu agama juga berperan sebagai penenang jiwa manusia, agar jika di telah sampai pada limit otaknya dia akhirnya kan kembali peda agama dan Tuhan dalm rangka menenangkan jiwanya gar jangan sampai dia sakit jiwa alias gila karena tidak menemukan jawaban pertanyaannya.
Dan akhirnya dapat disimpulkan bahwa kebenaran hanya berlaku pada suatu kumpulan manusia pada suatu masa. Seperti bilangan angka terdiri dari 0-9 dengan kombinasi-kombinasinya, hal ini kan berlaku saat ini pada masyarakat sekarang, dan tidak menutup kemungkinan ini akan bernilai salah di kemudian hari. Contoh lainnya adalah bahwa bumi sebagai pusat tata surya, hal ini bernilai benar bagi kalangan gereja pada abd pertengahan di Eropa, dan pada masa sekarang hal itu bernilai salah.
Inti dari teori korespondensi tentang kebenaran adalah yang berkesesuaian dengan fakta, yang berselaras dengan realitas, yang serasi (correspondens) dengan situasi actual. Dengan demikian, kebenaran dapat didefinisikan sebagai kesetiaan pada kesetiaan realitas obyektif (nyata, bias diraba, dan bisa dilihat/dirasakan dengan panca indera tidak hanya satu orang). Jadi kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan tentang sesuatu dengan kenyataan itu sendiri. Contoh: “Jakarta adalah ibukota Republik Indonesia”. Pernyataan itu benar karena Jakarta memang ibukota RI. Kebenarannya terletak pada hubungan antara pernyataan dan kenyataan.
Inti dari teori koheren tentang kebenaran adalah kebenaran yang didukung. Maksudnya adalah suatu pernyataan yang didukung dan diakui oleh orang banyak. Dan pernyataan yang dinyatakan ini tahan uji dengan teori-teori baru (pernyataan kebenaran) sesudahnya.
Selanjutnya adalah inti dari teori pragmatisme yang beranggapan bahwa sesuatu yang benar adalah sesuatu yang berdampak positif bagi manusia. Adapun batu ujian kebenaran dari teori pragmatisme ini adalah kegunaan, dapat dikerjakan, akibat atau pengaruhnya yang memuaskan. Menurut teori ini tidak ada pkebenaran mutlak/absolut. Sebagai contoh, Tuhan dalam agama menurut penganut teori pragmatisme, kebenarannya bukan terletak pada keberadaan Tuhan yang disembah dalam agama, melainkan dampak/efek dari Tuhan dalam agama yang positif bagi kehidupan manusia, sebab dengan adanya agama kehidupan manusia akan berlangsung secara tertib dan jiwanya akan tenang.
Dan untuk teori yang menyatakan bahwa agama sebagai teori kebenaran beranggapan bahwa selama sesuatu itu sesuai dengan ajaran agama atau wahyu, maka sesuatu dinyatakan benar. Dan tolak ukur kebenaran menurut teori ini adalah kitab suci agama (wahyu).
Jadi dapat kita simpulkan bahwa kebenaran menurut teori korespondensi, teori koheren, dan teori pragmatisme adalah semua kebenaran itu berasal dari satu pernyataan yang ada dan diakui/dipercayai oleh orang banyak.
Dalam teori korespondensi muncul pertanyaan siapa yang membuat obyek? Obyektif tidak lain dan tidak bukan ada/muncul dari subyektifitas (sudah barang tentu dalam hal ini [teori korespondensi] berarti nyata, bias diraba, dan bisa dilihat/dirasakan dengan panca indera tidak hanya satu orang) yang diakui/diyakini oleh orang banyak, seperti jakarta adalah ibukota RI, maka di situ ada orang yang membuat/menyatakan bahwa ada suatu daerah yang bernama jakarta dan itu merupakan ibukota suatu organisasi yang memiliki wilayah dan bangsa bernama RI, berangkat dari situlah maka orang yang membuat pernyataan tersebut menanamkan doktrin/pendapatnya pada orang lain dan pada akhirnya dia dan pernyataannya diakui dan diyakini oleh orang banyak.
Kemudian dalam teori koheren yang menyatakan bahwa kebenaran adalah dari suatu pernyataan yang didukung dan diakui oleh orang banyak, sehingga muncullah asumsi bahwa dia yang mampu membuat sebuah pernyataan (baik rasional maupun yang irrasional), dan mampu menanamkan/menjadikan pernyataannya (doktrin) diakui dan diyakini orang banyak maka dialah si benar, dan selain dia adalah salah. Jadi nilai kebenaran sebenarnya milik setiap manusia yang normal dan berpikir dan memiliki kriteria yang disebutkan di atas. Sebagai contoh, Paus Urbanus II menyatakan bahwa bagi mereka yang bersedia berperang melawan kaum Muslimin di Yerusalem (perang salib) akan diampuni dosa-dosanya, dan mati dalam perang salib adalah mati suci dan akan masuk surga, sehingga bagi mereka yang berperang dalam perang salib akan beranggapan bahwa pernyataan paus itu adalah benar.
Selanjutnya teori pragmatisme yang menyatakan bahwa sesuatu yang berdampak positif bagi manusia adalh benar, sehingga muncul problem bahwa setiap manusia memiliki karakteristik yang bermacam-macam, yang mana yang baik menurut si A belum tentu baik menurut si B. Dan jika demikian yang terjadi maka kebenaran itu hanya berlaku bagi manusia tertentu saja yang memiliki ketentuan-ketuntuan yang bagi mereka berdampak positif. Sebagai contoh, menjulurkan lidah bagi suku maoi di selandia baru adalah berdampak positif, karena ini berarti suatu sapaan antar individu, sedangkan bagi orang indonesia pada umumnya hal ini berdampak negatif, karena menjulurkan lidah bagi orang indonesia pada umumnya dalah penghinaan.
Dan dalam teori agama sebagai teori kebenaran, maka semua agama pada akhirnya akan dinyantakan benar asal sesuai dengan ajaran agama tersebut. Dan sangat dimungkinkan muncul asumsi bahwa agama tidak lain adalah penghibur manusia karena akalnya tidak mampu menjangkau (menjawab) pertanyaan yang dibuat dirinya sendiri, seperti apa kehidupan setelah kematian? Adakah balasan bagi pendosa? Dan sekarang yang sedang tren adalah mengungkap kebenaran/pernyataan agama (dalam hal ini adalah Islam) dengan fakta-fakta ilmu pengetahuan, yang mana sebenarnya manusia itu sendiri ingin membuktikan pernyataan-pernyataan dalam agama tentang kebenarannya. Selain itu agama juga berperan sebagai penenang jiwa manusia, agar jika di telah sampai pada limit otaknya dia akhirnya kan kembali peda agama dan Tuhan dalm rangka menenangkan jiwanya gar jangan sampai dia sakit jiwa alias gila karena tidak menemukan jawaban pertanyaannya.
Dan akhirnya dapat disimpulkan bahwa kebenaran hanya berlaku pada suatu kumpulan manusia pada suatu masa. Seperti bilangan angka terdiri dari 0-9 dengan kombinasi-kombinasinya, hal ini kan berlaku saat ini pada masyarakat sekarang, dan tidak menutup kemungkinan ini akan bernilai salah di kemudian hari. Contoh lainnya adalah bahwa bumi sebagai pusat tata surya, hal ini bernilai benar bagi kalangan gereja pada abd pertengahan di Eropa, dan pada masa sekarang hal itu bernilai salah.
Renungan Sang Maharaja...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar